• Replace This Text With Your Featured Post 1 Description.
  • Replace This Text With Your Featured Post 2 Description.
  • Replace This Text With Your Featured Post 3 Description.
  • Replace This Text With Your Featured Post 4 Description.

Sabtu, 10 Maret 2012

TEORI-TEORI SOSIOLOGI DAN PARADIGMA RITZER


BAB I
PENDALUHUAN
Terminologi Paradigma dikemukakan pertama kali oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul ‘The Structure of Scientific Revolution’ yang diterbitkan pada tahun 1965. Penulisan buku ini dimaksudkan Kuhn sebagai tantangan terhadap asumsi umum sekaligus juga mitos yang beredar dan dikenal masyarakat selama ini bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang secara kumulatif. Dalam bukunya ini Kuhn mengungkapkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak terjadi secara kumulatif sebagaimana ‘mitos’ yang beredar selama ini, tetapi terjadi secara revolusi. Untuk itu, Kuhn mengajukan model alur perkembangan lmu pengetahuan sebagaimana berikut ini:
Parad I — Normal Sc. —- Anomalies —- Crisis —- Revolusi —- Parad. II.
            Pada awalnya, menurut Kuhn, ilmu pengetahuan didominasi oleh satu paradigma yang menguasai jagad pengetahuan dalam kurun waktu yang lama, kemudian sampai pada tahap ‘normal science’ dimana para ilmuan bekerja dan mengembangkan paradigma yang dominan tersebut. Namun demikian, dalam proses pengembangan tersebut ternyata tidak dapat dilepaskan dari pertentangan dan penyimpangan (anomalies) karena ketidakmampuan paradigma pertama menjawab beragam persoalan yang berkembang. Akibatnya, terjadi krisis di kalangan para ilmuan yang mulai menyangsikan validitas paradigma dominan tersebut. Jika krisis terus berlanjut, maka tentu akan mengemuka revolusi yang menyebabkan hadirnya jenis paradigma yang baru yang diyakini mampu menjawab persoalan-persoalan yang belum terpecahkan selama ini.
Dengan demikian, apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan ‘paradigma’ itu?… Sebagai orang yang pertama kalinya memperkenalkan ‘paradigma’ dalam khazanah ilmu pengetahuan, Kuhn ternyata justru tidak menghadirkan pengertian dan pemahaman mengenai ‘paradigma’.

Pengertian mengenai ‘paradigma’ baru muncul ke permukaan oleh Robert Friedrich, yaitu suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tertentu yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang seharusnya dipelajari. Selanjutnya, apa yang dipaparkan oleh Friedrich mengenai paradigma ini disintesakan oleh George Ritzer secara lebih terperinci dan lebih jelas.
Menurut Ritzer, paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang seharusnya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘paradigma’ adalah cara pandang yang membantu seorang ilmuan untuk merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan informasi yang dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.











BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum mebahahas mengenai paradigma para tokoh sosiologi maka kita harus mengetahui terlebih dahulu mengetahui riwayat hidup atau biografi dari para tokoh tersebut sebagai acuan kita kedepannya untuk kita dapat lebih memahami pemikirannya karena basic dari sebuah tokoh mempengaruhi pemikiran setiap tokoh.

A.BIOGRAFI PARA TOKOH SOSIOLOGI
1)    AUGUSTE COMTE
Aguste Comte lahir di Monopellier,Prancis tahun 1798.Keluarganya beragama katolik dan berdarah bangsawan tetapi comte tidak memperlihatkan loyalitasnya.Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytecnique di Paris dan lama hidup disana,dimana ia mengalami suasana pergolakan social,intelektual dan politik.Comte seorang mahasiswa yang keras kepala dan memberontak dalam mendukung Napoleon di pecat.Comte memulai karir profesionalnya dengan memberikan les matematika.Karya comte pada awal mula di bawah asuhan Saint Simon kelihatan sangat meyakinkan dia memilki kecemerlangan intelektual dan ketekunan yang membuat dirinya sebagai seorang tokoh intelektual terpandang di prancis.
Untuk mengerti tempat comte dalam sejarah pemikiran social berdirinya disiplin sosiologi perlu memahami suasana social dan politik ditahun tahun sesudah Revolusi Prancis.Nama ”sosiologi” merupakan ciptaan Auguste Comte. Pemikiran filsafat Comte memberikan sumbangan penting bagi sosiologi, dan mendorong perkembangan sosiologi, dalam bukunya : ’Course de Philosophie Positive’.



TEORINYA
Yang berisi pandangannya mengenai hukum kemajuan manusia dan masyarakat yang melewati tiga tahap.
Tahap pertama adalah teologi, yaitu manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati atau supranatural. Tahap kedua adalah metafisika, yaitu manusia mengacu pada kekuatan metafisik atau abstrak. Pada tahap ketiga, tahap positif, yaitu manusia mencari penjelasan gejala alam maupun sosial mangacu pada deskripsi ilmiah.
Karena memperkenalkan metode positif ini maka Comte dikenal sebagai perintis positivisme. Pada pandangan Comte, sosiologi harus merupakan ilmu yang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam. Dengan kata lain sosiologi harus menjadi sebuah ilmu yang positif. Ciri metode positif mendasarkan pada cara berpikir ilmiah, bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan kajian harus bermanfaat, serta mengarah pada kepastian dan kecermatan. Sarana yang digunakan dalam metode positif adalah :1) pengamatan, 2) perbandingan, 3) eksperimen, 4) metode historis.   
Penjelasan tentang hubungan antar manusia atau gejala-gejala masyarakat harus melalui rasionalisasi yang positif. Kegiatan kajian sosiologi yang tidak menggunakan metode pengamatan, perbandingan, eksperimen, ataupun historis.Auguste Comte memang mendapat kehormatan sebagai bapak sosiologi melalui karya filsafat positifnya. Namun demikian, Emile Durkheim menempati posisi penting dalam mengembangkan sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Peranan Durkheim yang terpenting adalah pada usahanya dalam merumuskan obyek studi sosiologi, dan memberikan rumusan penting dalam metode untuk mendekati dan mengamati obyek studi.






2)    EMILE DURKHEIM
Durkheim dilahirkan di Epinal, prancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi prancis yang saleh. Ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali secular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari factor-faktor social dan bukan  ilahi.
            Tahun 1890-an  adalah  masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan: pembagian  kerja dalam masyarakat . pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L’Anne Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalh sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan progam sosiologinya).
             Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana sebuah monograf sosiologi. Pada 1902 Durkheim akhirnya meencapai tujuannya unyuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi professor di Sorbonne. Untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberi kursi danmengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”
Teori  dan gagasan
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya dimasa modern, ketika hal-hal latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak adalagi. Untuk. Mempelajari kehidupan social di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena social. Bersama Herbert Spencer Drkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengaju pada fungsa yang meraka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat, suatu posisi yang telah dikenal sebagai fungsionalisme.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan  masyarakt modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisionl bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional. Kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kasadaran  individual, norma-norma  social kuat dan perilaku social diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas ‘organik’. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan social menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam “Bunuh Diri”, yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri diantara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa control social yang lebih tinggi di antara orang katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah.
Menurut Durkheim, orang mempunyai keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi social. Tingkat integrasi social yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri. Menurut Durkheim masyarakat katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat protestan mempunhyai tingkat yang rendah. Karya ini telah mempengaruhi para pengajur teori control, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.

3)    KARL MARX
Karl Marx, lahir di bulan Mei 1818 di Trier, Jerman. Ayahnya seorang pengacara yang beberapa tahun sebelumnya pindah agama Yahudi menjadi Kristen Protestan. Perpindahan agama ayahnya yang begitu mudah diduga merupakan alasan mengapa Karl Marx tidak pernah tertarik dengan Agama. Ayahnya mengharapkan Marx menjadi notaris sebagaimana ayahnya. Karl Marx sendiri lebih menyukai untuk menjadi Penyair daripada seorang ahli hukum.
Hukum merupakan ilmu yang digemari pada saat itu. etengah semester ia bertahan, dan melompat ke Universitas Berlin, fokus pada filsafat. Masih semester dua, Marx sudah masuk kelompok diskusi paling ditakuti di kampus itu, Klub Para Doktor, dan menjadi anggota yang paling radikal. Kelompok ini selalu memakai Filsafat Hegel untuk menyerang kekolotan Prussia. Tak heran, klub ini pun digelari “Kaum Hegelian Muda”. Namun karena mereka juga menentang agama Protestan, klub ini digolongkan menjadi Hegelian Kiri, lawan Hegelian Kanan, yang menafsirkan Hegel sebagai teolog Protestan.
Pada tahun 1841, Marx dipromosikan menjadi doktor dengan disertasi “The Difference between The Natural Philosophy of Democritus and Epicurus”. Kertas kerja dan pengantar disertasi ini secara jelas menunjukkan Marx sangat Hegelian, dan antiagama. Hal terakhir ini juga yang membuat Marx dicap sesat, dan mulai dijauhi rekan-rekannya. Marx tumbuh di tengah pergolakan politik yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis para Borjuis yang menentang kekuasaan aristokrasi feodal dan membawa perubahan hubungan sosial. Meskipun ia memperjuangkan kelas orang-orang tertindas sebagai referensi empiris dalam mengembangkan teori filsafatnya.
Selama hampir setahun ia menjadi pimpinan redaksi sebuah harian radikal 1843, sesudah harian itu dilarang oleh pemerintah Prussia, ia kawin dengan Jenny Von Westphalen, putri seorang bangsawan, dan pindah ke Paris. Di sana ia tidak hanya berkenalan dengan Friedrich Engels (1820-1895) yang akan menjadi teman akrab dan “penerjemah” teori-teorinya melainkan juga dengan tokoh-tokoh sosialis Perancis. Dari seorang liberal radikal ia menjadi seorang sosialis.
 Beberapa tulisan penting berasal waktu 1845, atas permintaan pemerintah Prussia, ia diusir oleh pemerintah Perancis dan pindah ke Brussel di Belgia. Dalam tahun-tahun ini ia mengembangkan teorinya yang definitif. Ia dan Engels terlibat dalam macam-macam kegiatan kelompok-kelompok sosialis. Bersama dengan Engels ia menulis Manifesto Komunis yang terbit bulan Januari 1848. Sebelum kemudian pecahlah apa yang disebut revolusi’48, semula di Perancis, kemudian juga di Prussia dan Austria. Marx kembali ke Jerman secara ilegal. Tetapi revolusi itu akhirnya gagal. Karena diusir dari Belgia, Marx akhirnya pindah ke London dimana ia akan menetap untuk sisa hidupnya.
Di London mulai tahap baru dalam hidup Marx. Aksi-aksi praktis dan revolusioner ditinggalkan dan perhatian dipusatkannya pada pekerjaan teroritis, terutama pada studi ilmu ekonomi. Tahun-tahun itu merupakan tahun-tahun paling gelap dalam kehidupannya. Ia tidak mempunyai sumber pendapatan yang tetap dan hidup dari kiriman uang sewaktu-waktu dari Engels. Keluarganya miskin dan sering kelaparan. Karena sikapnya yang sombong dan otoriter, hampir semua bekas kawan terasing daripadanya. Akhirnya, baru 1867, terbit jilid pertama Das Kapital, karya utama Marx yang memuat kritiknya terhadap kapitalisme (jilid kedua dan ketiga baru diterbitkan oleh Engels sesudah Marx meninggal). Tahun-tahun terakhir hidupnya amat sepi dan tahun 1883 ia meninggal dunia.
4)    MAX WEBER
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah. Perbedaan penting antara kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setiap aktivitas dan  dan idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kedudukannya dalam sistem.
Lagi pula sang ayah adalah seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam berbagai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Marx Weber adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin (asetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat; ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia tak ditakdirkan akan mendapat keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak besar terhadap Weber.
Karena tak mungkin menyamakan diri terhadap pembawaan orang tuanya yang bertolak belakang itu, Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Marianne Weber, 1975:62). Mula-mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya. Apapun pilihannya, ketegangan yang dihasilkan oleh kebutuhan memilih antara pola yang berlawanan itu berpengaruh negatif terhadap kejiwaan Weber. Ketika berumur 18 tahun Weber minggat dari rumah, belajar di Universitas Heildelberg.
 Weber telah menunjukkan kematangan intelektual, tetapi ketika masuk universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemalu dalam bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayahnya dulu. Secara sosial ia mulai berkembang, sebagian karena terbiasa minum bir dengan teman-temannya. Lagipula ia dengan bangga memamerkan parutan akibat perkelahian yang menjadi cap kelompok persaudaraan mahasiswa seperti itu. Dalam hal ini Weber tak hanya menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan hidup ayahnya tetapi juga pada waktu itu memilih karir bidang hukum seperti ayahnya.
Setelah kuliah tiga semester Weber meninggalkan Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Ia tetap disana hampir 8 tahun untuk menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph.D., dan menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses itu minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah dan sosiologi yang menjadi sasaran perhatiannya selama sisa hidupnya. Selama 8 tahun di Berlin, kehidupannya masih tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera tak disukainya.
 Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai ibunya dan antipatinya terhadapnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Misalnya, selama satu semester sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya dilukiskan sebagai berikut : “Dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang kaku, mengatur hidupnya berdasarkan pembagian jam-jam kegiatan rutin sehari-hari ke dalam bagian-bagian secara tepat untuk berbagai hal.
 Berhemat menurut caranya, makan malam sendiri dikamarnya dengan 1 pon daging sapi dan 4 buah telur goreng” (Mitzman, 1969/1971:48; Marianne Weber, 1975:105). Jadi, dengan mengikuti ibunya, Weber menjalani hidup prihatin, rajin, bersemangat kerja, tinggi dalam istilah modern disebut Workaholic (gila kerja).
Semangat kerja yang tinggi ini mengantarkan Weber menjadi profesor ekonomi di Universitas Heidelberg pada 1896. Pada 1897, ketika karir akademis Weber berkembang, ayahnya meninggal setelah terjadi pertengkaran sengit antara mereka. Tak lama kemudian Weber mulai menunjukkan gejala yang berpuncak pada gangguan safaf. Sering tak bisa tidur atau bekerja, dan enam atau tujuh tahun berikutnya dilaluinya dalam keadaan mendekati kehancuran total. Setelah masa kosong yang lama, sebagian kekuatannya mulai pulih di tahun 1903, tapi baru pada 1904, ketika ia memberikan kuliah pertamanya (di Amerika) yang kemudian berlangsung selama 6,5 tahun,
Weber mulai mampu kembali aktif dalam kehidupan akademis tahun 1904 dan 1905 ia menerbitkan salah satu karya terbaiknya. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam karya ini Weber mengumumkan besarnya pengaruh agama ibunya di tingkat akademis. Weber banyak menghabiskan waktu untuk belajar agama meski secara pribadi ia tak religius.
Meski terus diganggu oleh masalah psikologis, setelah 1904 Weber mampu memproduksi beberapa karya yang sangat penting. Ia menerbitkan hasil studinya tentang agama dunia dalam perspektif sejarah dunia (misalnya Cina, India, dan agama Yahudi kuno). Menjelang kematiannya (14 Juni 1920) ia menulis karya yang sangat penting, Economy and Society. Meski buku ini diterbitkan, dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, namun sesungguhnya karya ini belum selesai. Selain menulis berjilid-jilid buku dalam periode ini, Weber pun melakukan sejumlah kegiatan lain. Ia membantu mendirikan German Sociological Society di tahun 1910.
 Rumahnya dijadikan pusat pertemuan pakar berbagai cabang ilmu termasuk sosiologi seperti Georg Simmel, Alfred, maupun filsuf dan kritikus sastra Georg Lukacs (Scaff, 1989:186:222). Weberpun aktif dalam aktivitas politik dimasa itu. Ada ketegangan dalam kehidupan Weber dan, yang lebih penting, dalam karyanya, antara pemikiran birokratis seperti yang dicerminkan oleh ayahnya dan rasa keagamaan ibunya. Ketegangan yang tak terselesaikan ini meresapi karya Weber maupun kehidupan pribadinya.
5)    GEORG SIMMEL ”
Georg Simmel adalah seorang filsuf Jerman dan salah seorang pionir dalam menjadikan sosiologi sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1858 dari 7 bersaudara, di Berlin – Jerman, suatu daerah tempat ia hidup pada masa kanak-kanak sebagai mahasiswa  maupun sebagai guru besar. Orang tua Georg Simmel adalah orang yahudi beragama protestan.
Ayahnya adalah pengusaha sukes dari Yahudi yang beraliran katolik, sedangkan ibunya mengkonversi ke aliran protestan. Latar belakang orangtuanya itu menjadi hambatan Simmel selama hidupnya. Suasana anti Semit di Berlin tidak dapat dihindarkan oleh Simmel walaupun keluarganya beragama protestan. Ayahnya meninggal saat Simmel masih muda, lalu Julius Friedlander ditunjuk sebagai walinya. Friedlander adalah teman dari keluarga Simmel dan pendiri penerbit internasional. Julius meninggalkan kekayaan untuk Simmel yang dapat digunakannya untuk bersekolah hingga sarjana.
Simmel masuk dan menuntut ilmu di Universitas Berlin. Ia mempelajari psikologi, sejarah, filsafat, dan bahasa Italia. Tetapi, upaya pertamanya untuk menyusun disertasi di tolak. Meski proposal pertamanya di tolak, ia mempertahankan disertasi dan ahirnya menerima gelar Doktor Filsafat pada tahun 1881. Hingga 1914 ia tetapi di Universitas Berlin berstatus tenaga pengajar meski hanya menduduki jabatan yang relatif tak penting sebagai “dosen privat” dari 1885-1900.
Kemudian ia menjadi dosen yang tak di gaji, yang kehidupannya tergantung pada honor dari mahasiswa. Gaya mengajarnya demikian populer, hingga bahkan orang terpelajar pun mengadiri kuliahnya. Dalam karier akademisnya sebagai dosen, Simmel sering dikritik karena tema-tema pemikirannya yang tidak sesuai dengan gaya yang lazim. Selain itu, gaya menulis Simmel juga dipandang tidak sesuai dengan standar yang ada.
Sebagai guru besar di Universitas Berlin, ia memberikan kuliah-kuliah yang sangat popular dan banyak menulis. Ia menghasilkan karya-karya yang sangat terkenal pada masa itu walaupun karirnya tidak terlalu berkembang karena latar belakang yang tidak menguntungkan pada waktu itu. Simmel menulis banyak artikel (The Metropolis and Mental Life) dan buku the Philosophy of Money. Ia terkenal di kalangan akademisi Jerman, mempunyai pengikut internasional, terutama di Amerika. Di situ karyanya berpengaruh besar dalam kelahiran sosiologi. Kedudukannya  yang serba marginal menyebabkan Simmel sangat peka terhadap masalah yang ada di sekitarnya. Masalah-masalah itu terlepas dari perhatian orang-orang yang berkedudukan baik pada saat itu.
Simmel mencoba mendapat berbagai status akademisi, namun ia gagal meski mendpat dukungan sarjana seperti Max Weber. Salah satu alasan yang menyebabkan Simmel gagal adalah karena ia keturunan Yahudi, sementara di abad 19, Jerman sedang di landa paham anti-Yahudi (Kasler, 1985). Kegagalan personal Simmel pun dapat di kaitkan dengan rendahnya penghargaan akademisi Jerman terhadap sosiologi ketika itu.
Pada tahun 1914, Simmel diangkat menjadi guru besar tetap di Universitas Strassbourg dengan bantuan temannya yaitu Max Weber. Pusat perhatian studi Simmel mencakup ruang lingkup yang sangat luas dimulai dari filsafat, yang kemudian menjadi ilmu yang sangat bermanfaat bagi bidang-bidang sosiologi, sejarah, sastra dan kesenian. Simmel memberikan kuliah mengenai bidang-bidang itu dan menyusun karya-karya ilmiah.
Di bidang sosiologi, pusat perhatiannya terarah pada proses interaksi yang dianggap sebagai ruang lingkup primer sosiologi dan perkembangannya. Selanjutnya dia menyelidiki masalah solidaritas dan konflik yang dikaitkannya dengan besar kecilnya kelompok. Simmel tetap menjadi tokoh marginal di dunia akademisi Jerman sampai ia meninggal pada tahun 1918. Ia tak pernah mendapat karir akademisi yang normal. Bagaimanapun juga Simmel menarik perhatian sejumlah besar mahasiswa di zamannya dan kemasyhurannya sebagai seorang sejarah terpelihara bertahun-tahun.
Tulisan-tulisan Simmel amat beragam, mulai dari etika, filsafat sejarah, pendidikan, agama, dan juga para filsuf lain, seperti Kant, Schopenhauer, dan Nietzsche. Ia juga menulis banyak esay tentang seniman dan penyair, tentang bermacam-macam kota, dan tema-tema seperti cinta, petualangan, rasa malu, dan juga banyak topik-topik sosiologi. Tulisan-tulisannya yang amat terkenal adalah “Filsafat Uang” dan “Metropolitan dan Mentalitas” yang merupakan analisis Simmel terhadap gaya hidup modern terhadap kesadaran manusia.
Oleh karena sosiologi hanya merupakan sebagian bidang-bidang yang menjadi pusat perhatiannya, maka hasil karya tulisnya mengenai hal itu rata-rata sangat mendalam. Akan tetapi pendapat-pendapat Simmel pada umumnya tidak didukung fakta yang disusun secara sistematis, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Durkheim atau Weber. Walaupun demikian, ajaran-ajaran Simmel memberikan sumbangsi yang sangat penting bagi perkembangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang baru mulai tumbuh pada waktu itu. Bahkan dalam batas-batas tertentu, ajaran-ajaran Simmel memberikan pengarahan pada perkembangan sosiologi di luar Jerman, misalnya di AS.
6)    GEORGE RITZER
Georg Ritzer  telah mengajar di jurusan sosiologi selama lebih dari 30 tahun dan telah menulis sejumlah besar buku kajian sosiologi di seluruh dunia, namun tak satupun gelar sarjana bukan di bidang sosiologi. Keterbatasan latar belakang sosiologi di bidang sosiologi ini mendorong dia untuk mempelajari sosiologi secara umum dan teori sosiologi secara khususnya.
Upaya studi metateori ini juga, sekutrangnya dalam satu hal,di bantu dengan kerja keras untuk memahami terori sosiologi. Karena dia tak dididk  menurut satu “aliran “khusus. Dia mempelajari teori sosiologi dengan hanya berbekal sedikit konsepsi dan bias,barang kali dia adalah pelajar dari seluruh “aliran pemikir”; keseluruhanya memberikan keuntungan yang sama bagi pemahaman teoritisnya.
            Karya metateori pertamanya,sociology; A Multiple science (1075), tak hanya berupaya menyusun pradigma sosiologi yang terpisah-pisah dan sering bentrok (konflik) satu sama lain itu tetapi juga mencoba membahas kemungkinan untuk munghubungkan,menjembatani,menyatukan dan menggunakan pradigma sosiologi yang beragam itu.merasa tak enak dengan konflik paradigmatis itu,dia ingin melihat suasana yang lebih harmonis dan rukun dalam sosiologi. Hasrat itulah yang mendorongsaya menerbitkan buku Toward an integrated sociological paradigm (1981a); di dalamnya dia lebih memusatkan perhatian sepenuhnya pada sebuah padigma yang terintegrasi.
Di tahun belakangan ini, minat terhadap penyelesaian konflik teoritis mendorong dia memusatkan perhatian pada integrasi mikro-makro (1990a) dan integrasi keagenan-struktur(Ritzer dan Gindolf, 1994) maupun pada maslah yang lebih luas yakni pada masalah sintesis teoritis(1990b). minat dia terhadap karya metateoritis di jelaskan oleh Hasratnya untuk memahami teori dengan lebih baik dan untuk menyelesaikan konflik dalam teori sosiologi.
Dalam bukunya metatheorizing (1992b) dia telah mengemukan perlunya studi sistematis atas teori sosiologi,dia percaya bahwa kita perlu lebih banyak melakukan studi itu untuk memahami teori dengan lebih baik, menghasilkan teori baru, dan perspektif teoritis yang lebih luas jangkauanya (metateori)studi metateoritis juga beroreantasi untuk menjernikan masalah yang di pertentangkan, menyelesaikan perselisian pendapat dan untuk menemukan peluang lebih besar dalam mencapai sistesis dan integrasi.
Setelah bertahun-tahun berusaha menerangkan sifat teori sosiologi, pada awal 1990-an dia mulai cemas dengan abstraksi karya metateoritis, sehingga dia berusaha mengaplikasikan berbagai teori yang telah dia pelajari kepada aspek-apek konkret dari dunia sosial. Dia pernah sedikit melakukannya pada 1980-an , menerapkan teori Weber pada rasionalisasi restoran Fast-Fod (1893)dan profesi medis (Ritzer dan Walczak,1988). Saya merevisi esai 1982 tersebut.
 Dan hasilnya adalah sebuah buku The McDonaldization of Society (1993, 1996, 2000a)yang menyatakan bahwa sementara birokrasi menjadi paradikma rasionalisasi formal di era Weber , yang menjadi model paradikma birokrasi dalam masyarakat moderen adalah restoran cepat saji (esai tambahan untuk topik ini di jumpai dalam the McDonaldization Thyesis[1998].)dalam expressing America; A Critique of ther Global Credit Card Society (1995) saya mengalihkan pada fenomena ekonomi sehari-harinya, yang dia analisis bukan dari perspektif teori rasionalitas, tetapi dari perspektif lain , termasuk ide teoritis tentang uang dari Georg Simmel.
Karya tentang restoran fast-fod dan kartu kredit ini membawa kepada kesadaran bahwa apa yang sesungguhnya menjadi minat saya adalah sosiologi konsumsi, yang belum banyak di kembangkan di Amerika Serikat, setidaknya di bandingkan dengan Great Britain dan negara eropa lainnya. Ini menghasilkan enchanting a Disenchanted Word Revolutionizing the Means of consumption (1999), di mana saya menggunakan teori Weberian- Marxian , dan teori post - modern untuk menganalisa alat konsumsi baru (superstore, megamall, cybermall, televisi Home-Shopping, Kasino, Taman Hiburan, dan kapal pesiar, dan juga restouran Fast Fod, dan waralaba lainnya)yang menjadi cara forang Amerika dan di belahan dunia lainya mengkonsumsi barang dan jasa.
            Capital Global dari McDonald dan McDonaldisasi, kartu kredit, dan alat-alat konsumsi baru membawaNya pada minat Globalisasi dan menghasilkan buku Globalization of Nothing (2004), sementara dia tidak bisa mengesampingkan isue metateoritis , dan sesungguhnya baru-baru ini dia membahasnya (Ritzer, 2001)rencana saya sekarang adalah melanjutkan penggunaan teori untuk memikirkan dunia kontemporer, khususnya konsumsi dan globalisasi.

B. PERBEDAAN PARADIGMA PARA AHLI SOSIOLOGI DAN HUBUNGAN   DIANTARA PARADIGMANYA
Ragam paradigma atau yang lazim dikenal dengan paradigma ganda yang mengemuka dalam Sosiologi adalah mengenai lahan kajian ilmu ini. Menurut Augus Comte dan Herber Spencer, ide adalah lahan kajian yang dapat dilakukan oleh Sosiologi. Kedua ilmuan ini dipengaruhi oleh model pemikiran Filsafat yang membidani kelahiran Sosiologi dalam khazanah ilmu pengetahuan manusia. Namun demikian, dunia ide yang diajukan Comte dan Spencer sebagai lahan kajian Sosiologi ini dibantah oleh Emile Durkheim melalui dua karya monumentalnya, The Rules of  Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). 
Menurut Durkheim, jika model kajian ini terus menerus dipertahankan dalam lapangan Sosiologi, maka ilmu ini tidak lain adalah cabang dari Filsafat. Padahal semua ilmuan sepakat untuk menjadikan Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang mandiri dan tidak tergantung dengan ilmu pengatahuan lainnya. Untuk itu, Durkheim menghadirkan lahan kajian yang dapat dilakukan Sosiologi, yaitu fakta sosial (social facts). Menurutnya, ide yang diusung Comte dan Spencer tidak dapat dijadikan objek riset karena hanya berfungsi sebagai konsepsi dalam pikiran dan tidak dapat dipandang sebagai barang sesuatu (athing).
Sebaiknya, Fakta Sosial yang diusung Durkheim terdiri dari dua macam, yaitu: (1) fakta sosial material berupa barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi serta bagian dari dunia nyata (external world). Contohnya adalah arsitektur dan norma hukum. (2) fakta sosial non material berupa sesuatu yang dianggap nyata (external) yang merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul dalam kesadaran manusia. Untuk menyebut contohnya adalah egoisme, moralitas, situasi sosial dan opini. Sedangkan teori yang digunakan untuk mengkaji lapangan penyelidikan fakta sosial sebagaimana yang diketengahkan Durkheim ini adalah teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem dan teori sosiologi makro.
            Sedangkan menurut Ritzer, objek kajian Sosiologi terdiri dari dua macam, yaitu: objektif dan subjektif. Objek kajian objektif terdiri dari material, fenomena sosial yang dapat dilihat pada aktor; tindakan (aksi); interaksi; struktur birokrasi; hukum atau perundang-undangan. Sedangkan objek kajian subjektif adalah objek kajian sosiologi yang tidak termasuk dalam bidang material atau non material berupa fenomena sosial yang terdiri dari ide dan nilai-nilai yang tidak berdimensi material berupa: proses mental, konstruksi materialistik, norma, nilai-nilai dan elemen budaya.

a.    Paradigma pertama adalah Fakta Sosial.
Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Fakta sosial terdiri dari dua macam yaitu fakta sosial material dan fakta sosial nonmaterial.
 Fakta sosial material, misalnya bentuk-bentuk bangunan, hukum, dan lain-lain. Sedangkan fakta sosial nonmaterial, misalnya waktu, opini, kepercayaan, dan sebagainya. Beberapa teori sosiologi yang masuk paradigma fakta sosial adalah

1. Teori Fungsionalisme Struktural;
2. Teori Konflik;
3. Teori Sistem; dan
4. Teori Sosiologi Makro.
Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat.5 Teori sistem (Parson) juga termasuk dalam paradigma ini.
Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.
Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).  
Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.
Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
b.    Paradigma kedua adalah Definisi Sosial,
Paradigma ini dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan
sosial (social action). Berbeda dengan Durkheim, Weber tidak dengan tegas memisahkan struktur sosial dan pranata sosial. Justru struktur sosial dan pranata sosial ini membentuk tindakan manusia agar penuh arti.
Berdasasrkan konsep tentang tindakan sosial dan relasi sosial, terdapat lima cirri
pokok sasaran penelitian sosiologi menurut Weber, yaitu:
1.Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yan subyektif;
2.Tindakan nyata dan yang bersifat membatin dan yang sepenhnya bersifat subyektif; 3.Tindakan karena suatu situasi,sengaja diulang, dan tindakan dalam bentuk persetujuan diam-diam;
4.Tindakan yang diarahkan kepada individu atau kepada beberapa orang; dan
5.indakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan mengarah pada tindakan itu.

 Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead.
c.    Paradigma yang ketiga adalah Perilaku Sosial.
Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini menekuni ‘perilaku individu yang tak terpikirkan’. Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku –yang diinginkan, dan punishment sebagai pencegah perilaku –yang tidak diinginkan. Berbeda dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode eksperimen.Ada dua teori yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology behavioral, dan teori pertukaran.

            Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional.
Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial. Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan herme neutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”.  
Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan.
Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.
C.KELEMAHAN DAN KELEBIHAN PARADIGMA MENGIKUTI PEMIKIRAN RITZER
Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial.
Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.
Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial.
Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen -nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.

Kritik Multi-Paradigma Ritzer
            Penempatan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan structural fungsional oleh Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa dalam konflik –menuju perubahan- berlawanan dengan struktural fungsional –yang mengasumsikan masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-masing yang saling terkait dan aktif, dan senantiasa membawa masyarakat menuju keseimbangan.
Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan perubahan sosial, sementara struktural-fungsional pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari pengabaian terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain, menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama, misalnya; antara fungsionalisme dengan teori pertukaran.9 Selain itu, paradigma integratif sebagai ‘konsensus’ antar paradigma, atau sebagai paradigma yang lebih lengkap –sehingga lebih akurat sebagai perspektif sosiologi- patut diperdebatkan.
Merumuskan teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan berbagai aliran untuk bersepakat. Tentu hal ini mendistorsi teori-teori yang ada, dari berbagai paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan paradigma integratif ini sebagai paradigma tersendiri yang berbeda dengan paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai paradigma ke-empat setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Metateori Ritzer tak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori alternatif baru dewasa ini. Kemunculan teori-teori kritis –dengan ragam alirannya, tak mampu ditampung dalam kerangka metateori Ritzer. Karena itu, pemetaan Ritzer tak lagi tepat untuk menggambarkan perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin menampakkan bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi sombolik) tak lagi relevan.







BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN

Paradigma’ adalah cara pandang yang membantu seorang ilmuan untuk merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan informasi yang dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial.
Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif


DAFTAR PUSTAKA

*      Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.
*      Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia, 2002.
*      Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Ritzer, George, Sosiologi; Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, 1985
*      Soeprapto, H.R. Riyadi, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002 Zeitlin, Irving M, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta: Gadjah
*      George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Press, 2009.